Home » » Sheikh Junaid Al Baghdadi Perintis Tasawuf Sunni

Sheikh Junaid Al Baghdadi Perintis Tasawuf Sunni

Sheikh Junaid Al Baghdadi Perintis Tasawuf Sunni




Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junaid AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad Ibn Al-Junayd. Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junaid pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junaid, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.
Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi
Imam Junaid adalah seorang ahli niaga yang kaya raya. Beliau memiliki sebuah gedung tempat beliau berdagang di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan mengurusi dagangannya sebagaimana para pedagang lain yang kaya raya di Baghdad.
Waktu berdagangnya sering cuma sebentar saja karena lebih mengutamakan pengajian murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan.
Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Banyak penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Imam Junaid hidup dalam keadaan zuhud. Beliau ridha dan bersyukur kepada Allah SWT dengan segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Beliau tidak pernah berangan-angan untuk mencari kekayaan duniawi dari sumber pekerjaannya sebagai pedagang.
Beliau selalu membagi-bagikan hasil dagangannya kepada golongan fakir miskin, peminta dan orang-orang tua yang lemah.
Bertasawuf Ikut Sunnah Rasulullah saw, begitulah fatwa beliau.
Imam Junaid seorang yang berpegang kuat kepada al-Quran dan as-Sunnah. Beliau sentiasa merujuk kepada al-Quran dan sunnah Rasulullah saw dalam setiap pengajiannya.
Beliau pernah berkata:
“Setiap jalan tertutup, kecuali bagi mereka yang sentiasa mengikuti perjalanan Rasulullah saw. Siapa yang tidak menghafal al-Quran, tidak menulis hadis-hadis, tidak boleh dijadikan guru dalam bidang tasawuf ini.”
Kelebihan dan Karamah
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruhnya yang kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa malah semua golongan menyukainya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli Fiqih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
1. Diuji Dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah pastinya akan menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan citra Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang bisa memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapa pun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat berita kematian wanita itu akhirnya marah kepada Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.
“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.


2. (i) Junaid dan Iblis
Dikisahkan dari Junaid: pada suatu hari Junaid ingin melihat Iblis, Junaid berkata: “Aku berdiri di pintu masjid dan dari kejahuan terlihatlah olehku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku, begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam perasaanku”.
“siapakah engkau ini?”, aku bertanya.
“Yang engkau inginkan”, jawabnya.
“Wahai makluk yang terkutuk”, aku berseru, “apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud pada Adam?”
“Bagaimanakah pendapatmu Junaid?”, Iblis menjawab, “jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?”
Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban Iblis itu. Dan dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “katakanlah, engkau adalah pendusta, seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau mentaati perintah-Nya”.
Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring. “Demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” dan setelah itu ia pun hilang.
Cerita ini dapat dijadikan pelajaran bahwa Iblis selalu membuat manusia terperangkap dalam logika yang menyesatkan dengan argument yang secara rasional sehingga dapat di percaya, sehingga banyak manusia yang menjadi korbannya.
(ii) . Pada suatu hari, iblis masuk ke rumah Imam Junaid dengan menyamar sebagai salah satu muridnya dan berkata,
“Wahai Waliyullah, aku ingin mengabdi kepadamu tanpa upah, bolehkah?” (Sebenarnya Imam Junaid sudah tahu bahwa itu adalah iblis).
“Silakan,” jawab Imam Junaid singkat.
Iblis pun akhirnya mengabdi kepada Imam Junaid seperti para murid lainnya. Ia berusaha melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Imam Junaid, namun di balik ketaatannya itu, iblis memiliki siasat jahat, ada udang dibalik batu. Ia berharap dapat memasuki hati dari Imam Junaid.
Dengan sabar Iblis ini mengabdi kepada Imam Junaid sepuluh tahun lamanya. Selama sepuluh tahun lamanya iblis menyamar, siasatnya belum juga membuahkan hasil. Iblis merasa telah gagal menembus hati Imam Junaid yang tak pernah lupa sedikit pun untuk berzikir kepada Allah SWT.
Bukankah iblis tak kuasa menggoda anak Adam yang selalu ingat dan berzikir kepada Allah SWT. Itulah janji Allah SWT tatkala iblis akan dikeluarkan dari Surga dan dilaknat oleh Yang Maha Perkasa.
Bukan main ketaatan Imam Junaid kepada Allah SWT. Akhirnya iblis pun menyerah dalam penyamarannya dan memutuskan untuk meninggalkan Imam Junaid.
“Wahai Waliyullah, sesungguhnya aku adalah iblis yang menyamar menjadi salah satu muridmu. Aku ingin memasuki hatimu, akan tetapi aku tidak dapat melakukannya kerana setiap kedip mata engkau tak pernah lupa berzikir kepada Allah SWT,” kata iblis kepada Imam Junaid.
“Aku sudah tahu kalau engkau adalah iblis, makanya aku menjadikanmu pelayan untuk menyeksamu, dan kelak di akhirat nanti kamu tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT,” tutur Imam Junaid.
Iblis tersentak, bagaimana mungkin Waliyullah seperti Imam Junaid ini mengetahui kalau dia adalah iblis. Iblis pun berkata lebih lanjut,
“Aku tidak melihat kesombongan dalam hatimu dan itu menjadi sumber kekuatanmu.”
“Pergilah kamu wahai iblis laknatullah, kamu hanya dapat masuk ke dalam hati manusia yang telah diliputi takabbur dan sombong, keluar dan pergilah dengan hina engkau iblis,” usir Imam Junaid.
Akhirnya iblis pun mengaku kalah.
Ia menghilang dari hadapan Imam Junaid yang terbukti tak mampu digodanya sedikit pun.
3. Junaid dan Pengemis
Ketika Junaid sedang berkhutbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis. “Orang ini cukup sehat”, Junaid berkata dalam hati. “Ia dapat mencari nafkah, tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?”
Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
“Makanlah!”, sebuah suara memerintah Junaid. Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia”, jawab Junaid menolak.
“ Tetapi bukanlah yang itu telah engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?”
Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah melakukan fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut”, Junaid mengisahkan. “Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat.” Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis. Aku dapati ia sedang berada di tepi sungai Tignis. Ia sedang memunguti sisa-sisa makanan sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihat olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: “Junaid sudahkah engkau bertaubat karena berprasangka buruk terhadapku?” sudah, jawabku. “Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu”.
4. Bahlul dan Syekh Junaid al Baghdadi 
Syekh Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkemuka, pergi ke luar kota Baghdad. Para muridnya juga ikut dengannya. Syekh itu bertanya tentang Bahlul.
Mereka menjawab, “Ia adalah orang gila, apa yang Anda perlukankan darinya?”
“Cari dia, karena aku ada perlu dengannya,” kata Syekh Junaid.
Murid-muridnya lalu mencari Bahlul dan bertemu dengannya di gurun. Mereka lalu mengantar Syekh Junaid kepadanya.
Ketika Syekh Junaid mendekati Bahlul, ia melihat Bahlul sedang gelisah sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Syekh itu lalu menyapanya. Bahlul menjawab dan bertanya padanya,
“Siapakah engkau?”
“Aku adalah Junaid al Baghdadi,” kata Syekh itu.
“Apakah engkau Abul Qasim?” tanya Bahlul. “Ya!”jawab syekh itu.
“Apakah engkau Syekh Baghdadi yang memberikan petunjuk spiritual pada orang-orang?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab Sang Syekh.
“Apakah engkau tahu bagaimana cara makan?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku mengucapkan Bismillaah (Dengan nama Allah). Aku makan yang ada di hadapanku, aku menggigitnya sedikit, meletakkannya di sisi kanan dalam mulutku, dan perlahan mengunyahnya. Aku tidak menatap suapan berikutnya. Aku mengingat Allah sambil makan. Apa pun yang aku makan, aku ucapkan Alhamdulillaah (Segala puji bagi Allah). Aku cuci tanganku sebelum dan sesudah makan.”
Bahlul berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berkata,
“Kau ingin menjadi guru spiritual di dunia, tetapi kau bahkan tidak tahu bagaimana cara makan!” Sambil berkata demikian, ia berjalan pergi.
Murid Syekh itu berkata, “Wahai Syekh! Ia adalah orang gila.”
Syekh itu menjawab, “Ia adalah orang gila yang cerdas dan bijak. Dengarkan kebenaran darinya!”
Bahlul mendekati sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, lalu ia duduk. Syekh Junaid pun datang mendekatinya. Bahlul kemudian bertanya,
“Siapakah engkau?”
“Syekh Baghdadi yang bahkan tak tahu bagaimana caranya makan,” jawab Syekh Junaid.
“Engkau tak tahu bagaimana cara makan, tetapi tahukah engkau bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
“Ya!” jawab sang Syekh.
“Bagaimana cara berbicara?” tanya Bahlul.
Syekh itu lalu menjawab, “Aku berbicara tidak kurang, tidak lebih, dan apa adanya. Aku tidak terlalu banyak bicara. Aku berbicara agar pendengar dapat mengerti. Aku mengajak orang-orang kepada Allah dan Rasulullah. Aku tidak berbicara terlalu banyak agar orang tidak menjadi bosan. Aku memberikan perhatian atas kedalaman pengetahuan lahir dan batin.” Kemudian ia menggambarkan apa saja yang berhubungan dengan sikap dan etika.
Lalu Bahlul berkata, “Lupakan tentang makan, karena kau pun tak tahu bagaimana cara berbicara!”
Bahlul pun berdiri, menyibakkan pakaiannya, dan berjalan pergi.
Murid-muridnya berkata, “Wahai Syekh! Anda lihat, ia adalah orang gila. Apa yang kau harapkan dari orang gila?!”
Syekh itu menjawab, “Ada sesuatu yang aku mahukan darinya. Kalian tidak tahu itu.”
Ia lalu mengejar Bahlul lagi hingga mendekatinya. Bahlul lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku ? Kau, yang tidak tahu bagaimana cara makan dan berbicara, apakah kau tahu bagaimana cara tidur?”
“Ya, aku tahu!” jawab syekh itu. “Bagaimana caramu tidur?” tanya Bahlul.
Syekh Junaid lalu menjawab, “Ketika aku selesai salat Isya dan membaca doa, aku mengenakan pakaian tidurku.” Kemudian ia ceritakan cara-cara tidur sebagaimana yang lazim dikemukakan oleh para ahli agama.
“Ternyata kau juga tidak tahu bagaimana cara tidur!” kata Bahlul seraya ingin bangkit.
Tetapi Syekh itu menahan pakaiannya dan berkata, “Wahai Bahlul! Aku tidak tahu. Karenanya, demi Allah, ajari aku!”
Bahlul pun berkata, “Sebelumnya, engkau mengaku bahwa dirimu berpengetahuan dan berkata bahwa engkau tahu, maka aku menghindarimu. Sekarang, setelah engkau mengakui bahwa dirimu kurang berpengetahuan, aku akan mengajarkan padamu. Ketahuilah, apa pun yang telah kau gambarkan itu adalah permasalahan sekunder. Kebenaran yang ada di belakang memakan makanan adalah bahwa kau memakan makanan halal. Jika engkau memakan makanan haram dengan cara seperti yang engkau gambarkan, dengan seratus sikap pun, maka itu tak bermanfaat bagimu, melainkan akan menyebabkan hatimu hitam!”
“Semoga Allah memberimu pahala yang besar,” kata sang syekh.
Bahlul lalu melanjutkan, “Hati harus bersih dan mengandung niat baik sebelum kau mulai berbicara. Dan percakapanmu haruslah menyenangkan Allah. Jika itu untuk duniawi dan pekerjaan yang sia-sia, maka apa pun yang kau nyatakan akan menjadi malapetaka bagimu. Itulah mengapa diam adalah yang terbaik.
Dan apa pun yang kau katakan tentang tidur, itu juga bernilai sekunder. Kebenaran darinya adalah hatimu harus terbebas dari permusuhan, kecemburuan, dan kebencian. Hatimu tidak boleh tamak akan dunia atau kekayaan di dalamnya, dan ingatlah Allah ketika akan tidur!”
Syekh Junaid lalu mencium tangan Bahlul dan berdoa untuknya.
Inti dari cerita tersebut adalah:
Sahabatku. Orang zaman sekarang masih ada yang beribadah tanpa memahami isi makna. Mereka hanya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh nenek moyangnya tanpa kemampuan memaknai. Maka tak heran jika amal yang dilakukan, ibadah yang dilakukan, akan terasa kering. Tidak menyerap di hati. Bahkan shalat sudah tak mampu mencegah kemungkaran. Kenimatan beribadah sangat sulit mereka dapatkan. Dalam cerita di atas, bahlul mencoba membeberkan beberapa kasus yang sehari-hari ditemui. Semoga dengan cerita di atas engkau dapat memaknai setiap amal yang kau lakukan, sehingga makan, bicara dan tidurmu menjadi cahaya. Amin.
5. Junaid Meninggal Dunia
Imam Al-Junaid sebelum wafat, tetap beristiqamah melaksanakan ibadah meskipun dalam keadaan susah payah. Di hari Jumaat, di hari wafatnya, Imam Al-Junaid masih berusaha untuk membaca Al-Qur’an, hingga para sahabat beliau termasuk Abu Muhammad Al-Jurair merasa kasihan, dan menyampaikan kepada Al Junaid, “Kasihanilah dirimu sendiri”. Imam Al-Junaid pun menjawab, “Aku tidak melihat orang yang lebih memerlukan Al-Qur’an lebih daripada diriku untuk saat ini. Ia lah yang memenuhi lembaran amalanku”.
Di saat hendak wafat, Imam Al-Junaid juga berusaha untuk melaksanakan solat dengan duduk, sedangkan kedua kaki beliau bengkak. Melihat betapa susahnya beliau melakukan gerakan solat, para sahabat beliau pun menyampaikan, “Ada apa ini wahai Abu Qasim?!” Imam Al-Junaid pun menjawab, “Ini adalah nikmat dari Allah, Allahu Akbar …”
Setelah selesai Shalat, Abu Muhammad Al-Jurair menyampaikan, “Anda boleh melakukannya dengan berbaring.” Imam Al-Junaid pun menjawab, “Wahai Abu Muhammad, ini adalah waktu mempertanggungjawabkannya.”
Saat Ibnu Atha’, sahabat Al-Junaid datang dan mengucapkan salam, Imam Al-Junaid tidak langsung menjawabnya, melainkan beberapa saat selepas itu. Kemudian beliau menyampaikan, “Maafkan aku, tadi aku sedang membaca wiridku.” Kemudian beliau menghadapkan wajah ke kiblat kemudian wafat. — al-Fatihah —
Di waktu sebelum wafat, Imam Al-Junaid telah menghatamkan bacaan Al-Qur’an kemudian memulakan lagi membaca Surah Al-Baqarah hingga 70 ayat.
Wafatnya
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, salah satu dari muridnya.
Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata.”


PEMIKIRAN TASAWUF AL-JUNAYD AL-BAGHDADI
Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang dalam menanggapi mendekatkan diri kepada Allah dengan menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai kepada Allah SWT.
Artinya, orang yang melakukan tasawuf akan mengalami ketenangan pada dirinya. Karena hal itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an bahwasanya ketika mengingat Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran yang menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia bisa menyatu denganNya.
Dalam aliran taswuf, Banyak aliran-aliran tasawuf di dalam Islam yang antara satu dan lainnya tidak sama dalam titik tekannya, yang kadangkala membuat para pengikutnya saling mengklim bahwa ajarannyalah yang benar. Sehingga dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai tasawuf Al-Junaid Al-Baghdadi. Yang corak pemikiran tasawufnya tidak terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara ma’rifat dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah penting dalam ranah tasawuf itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa bersama Allah SWT.
B. Pengertian tasawuf menurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya
Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd Al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung. Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.
Akan tetapi Al-Junayd Al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian, yaitu:
1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
3. Tasawuf adalah Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.
Sehingga dari definisi-definisi tasawuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah mau pun yang dilarang oleh Allah SWT.
C. Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd Al-Baghdadi
Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd Al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para fukaha atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu, Al-Junayd Al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd Al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. Syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak (sia-sia), demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak (sesat). Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah). Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.
Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Surah AI-Qashash : 77).
Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk keperluan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.
Karena diakui atau tidak bahwasanya tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan dan dihalusi oleh masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.
Begitu halnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat di dalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf Junaid Al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf Al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf Al-Junayd Al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.


D. Pandngan Al-Junayd al-Baghdadi terhadap zuhud
Pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk keperluan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Al-Junaid Al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep Zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak thama’.
Aplikasi zuhud, menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junaid Al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang moderat”. Kemoderatan Junaid Al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut Junaid Al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang tidak peduli.
Kata Al-Junaid, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah SWT.”
Konsep taswuf Al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikilnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan Al-Junyad yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.
Selain itu, meski Al-Junaid seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junaid agak berbeda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. Al-Junaid sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka.


E. Al-Baghdadi dalam hal Ittihad dan Hulul
Berbicara Ittihad yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthami dan Hulul yang dipopulerkan oleh Mansur Al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga, Radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junaid al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah.
Kendati demikian, dari pemahman itu, manusia menurut Al-Junaid bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata Al-Junaid, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sinilah Junaid Al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.
Ketika Al-Junaid Al-Baghdadi ditanya mengenai Al-Haqq yang dilontarkan pada diri Al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah SWT, Tetapi ia mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari Al-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar. Artinya, kata al-Haqq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah SWT. Terlepas dari itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang dikatakan. Kerana pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian.
Al-Junaid Al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya. Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Mi’raj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh dari Derajat kenabian itu sendiri.
Bahakan Al-Junaid Al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai ma’rifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri serta pembuat keonaran.
Dalam hal ini, Al-Junaid Al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah menyatu dengan Allah SWT. Baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berupah posisinya menjadi Allah SWT. Walaupun ia sedang merasa dalam keadaan Ittihat atau pun Hulul itu sendiri.
Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junaid al-Baghdadi, manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan membersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan Al-Junaid ini, diharapkan agar orang yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat itu sendiri.
F. Kesimpulan
Dari uaraian pemikiran tasawuf Al-Junaid Al-Baghdadi diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Sementara penegrtian tasawuf menurut Al-Junaid Al-Baghdadi adalah Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara. Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta Merasa tiada memiliki apa pun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.
2. Adapun ciri tasawuf Al-Junaid Al-Baghdadi yaitu adanya keterkaitan antara syari’at dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari al-Qur’an dan Hadis.
3. Aplikasi zuhud, menurut Al-Junaid Al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka.
4. Konsep Ittihad dan Hulul yang menampakkan bahwa sufi seakan derajatnya sama dengan Allah menurut Junaid Al-Baghdadi tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi Tuhan (uluhiah).

0 ulasan: